Sebelum Mpu Prapanca dan Sejarawan Modern, Thukidides Sudah Merumuskan Kritik Sumber

Jauh sebelum Prapanca di Jawa abad ke-14 dan sejarawan modern Eropa abad ke-18, Thukidides telah menekankan pentingnya kritik sumber dalam menulis sejarah, menjadikannya tonggak awal historiografi kritis.

SEJARAHANALISIS/KAJIAN AKADEMIS

Muhammad Farhan Ghibran

9/28/20254 min read

Dalam diskusi publik belakangan ini, muncul argumen bahwa metode kritik sumber lebih awal dalam tradisi Jawa dibandingkan tradisi Barat. Alasannya, tradisi Jawa melalui Mpu Prapanca dalam Kakawin Nagarakretagama disebut telah lebih dahulu merumuskannya pada abad ke-14, sedangkan di Barat metode itu baru muncul pada abad ke-18 atau ke-19. Pernyataan ini terdengar meyakinkan, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, keliru secara kronologis.

Metode Thukidides dalam Meneliti Sejarah

Jauh sebelum Prapanca maupun sejarawan modern Eropa, Thukidides (abad ke-5 SM) dalam Sejarah Perang Peloponnesos sudah menekankan pentingnya cara menilai sumber sejarah, atau yang kini disebut kritik sumber. Dia menyadari bahwa orang sering menerima cerita masa lalu begitu saja tanpa memeriksanya. Karena itu dia menyaring kisah-kisah itu dengan menuntut bukti (τεκμήρια, tekmēria) dan menolak otoritas para penyair yang suka melebih-lebihkan atau para penulis cerita yang menyesuaikannya agar lebih enak didengar daripada benar adanya.

Untuk pidato, Thukidides menuliskan apa yang menurutnya paling mungkin diucapkan sesuai dengan maksud keseluruhan pembicara, bukan kata demi kata. Untuk peristiwa, dia mengandalkan pengamatan langsung (ὄψις, opsis) dan keterangan saksi lain, dengan berusaha seteliti mungkin (ἀκρίβεια, akribeia) sambil menyadari keterbatasan ingatan dan adanya kemungkinan bias dalam suatu kesaksian.

Karyanya, ujarnya, mungkin kurang menghibur karena tidak mengandung mitos (μὴ μυθῶδες), tetapi akan bermanfaat bagi siapa pun yang ingin memahami dengan jelas apa yang pernah terjadi dan apa yang serupa kemungkinan akan terjadi lagi. Dia menulisnya sebagai “milik untuk selamanya” (κτῆμα ἐς αἰεί) bukan “hiburan sesaat (ἀγώνισμα ἐς τὸπαραχρῆμα) (Thuk. 1.20-1.22). Supaya lebih jelas, dua contoh berikut akan memperlihatkan bagaimana Thukidides mempraktikkan metode kritik sumber yang sudah dia susun, yaitu pada mitos “pembunuh tiran” dan Perang Troya dan katalog kapal Homeros.

Kritik Sumber pada Mitos “Pembunuh Tiran”

Thukidides mengoreksi kepercayaan populer rakyat Athena bahwa Hipparkhos (adik Hippias) adalah tiran yang dibunuh oleh sepasang kekasih, Harmodios dan Aristogeiton. Menurutnya, kenyataannya justru berbeda. Hippias, sebagai putra sulung Peisistratos, merupakan tiran yang sebenarnya, sedangkan Hipparkhos hanya saudaranya. Dia menegaskan mengetahui hal itu lebih akurat (ἀκριβέστερον, akribesteron) dan memperkuatnya dengan bukti, di antaranya prasasti dedikasi pada altar kedua belas dewa di Agora, altar Apollo di Pythion, stela di Akropolis tentang kisah para tiran, dan epigram makam Arkhedike (anak perempuan Hippias) yang menyebutnya “anak seorang tiran” di Lampsakos (Thuk. 1.20; 6.54–6.59).

Soal motif, Thukidides menolak pembacaan heroik, karena sebab utama dari tindakan itu adalah asmara dan penghinaan. Setelah rayuannya ditolak, Hipparkhos membalas dendam kepada Harmodios dengan menyingkirkan adik perempuannya dari peran pembawa keranjang dalam prosesi Panathenaia. Konspirasi untuk menggulingkan tirani memang telah dipersiapkan pada hari itu (sebab dalam prosesi Panathenaia warga Athena lazim membawa senjata) namun pembunuhan Hipparkhos sendiri terjadi secara spontan di Leokorion, ketika para pelaku curiga rencana mereka telah bocor. Sementara itu, Hippias saat peristiwa berlangsung berada di Kerameikos, sehingga tidak terkena serangan. Peristiwa ini tidak serta merta meruntuhkan tirani, justru karena kematian saudaranya, Hippias memperkuat kekuasaan dan berubah menjadi lebih kejam. Barulah tirani keluarga Peisistratid benar-benar tumbang ketika orang Sparta bersama keluarga Alkmaionid menyerang Athena (Thuk. 6.54–6.59).

Di sini tampak gabungan kritik sumber, yaitu internal, karena Thukidides membongkar narasi populer dengan menata kembali kronologi peristiwa serta menganalisis motif para pelaku; dan eksternal, karena dia mendasarkan argumennya pada bukti epigrafis (prasasti altar dedikasi pada kedua belas dewa di Agora, altar Apollo di Pythion, stela di Akropolis, dan epigram makam Arkhedike), bukti topografis (Kerameikos dan Leokorion), dan konteks ritual (prosesi Panathenaia).

Kritik Sumber pada Perang Troya dan Katalog Kapal Homeros

Contoh lainnya tampak ketika Thukidides menimbang kemasukakalan cerita Perang Troya dengan merujuk pada katalog kapal yang dicatat Homeros (Il. 2.494-2.756). Dia mencatat bahwa Homeros sebagai penyair cenderung memperindah (κοσμεῖν, kosmein) cerita, khususnya membesar-besarkan skala armada Yunani. Karena itu, Thukidides menguji data tersebut secara rasional.

Pertama, dia menganalisis konsistensi isi teks. Homeros menyebut kapal Boiotia berisi 120 orang dan kapal Philoktetes 50 orang. Dari sana, Thukidides mengambil angka maksimum dan minimum awak kapal dan menyoroti bahwa Homeros tidak menyebut angka untuk perwakilan lainnya. Ini mengindikasikan bahwa angka-angka itu bersifat puitis, bukan statistik (Thuk. 1.10).

Kedua, dia membandingkan teknologi kapal pada masa Perang Troya dan masanya. Thukidides menilai bahwa tidak masuk akal bila armada sebesar itu menyebrangi laut dengan kapal yang belum “tertutup penuh” (οὐ κατάφαρκτα, ou kataphrakta), yang lebih menyerupai kapal bajak laut ketimbang kapal perang berdek penuh (Thuk. 1.10).

Ketiga, dia menganalisis komposisi awak. Dalam bagian Philoktetes, semua pendayung digambarkan sebagai pemanah/pejuang, bukan awak tambahan yang terpisah. Ini menandakan kapasitas muatan dan fungsi kapal terbatas, sehingga klaim armada raksasa makin meragukan (Thuk. 1.10-1.11).

Keempat, dia menilai kondisi ekonomi Yunani pada masa Perang Troya. Thukidides menegaskan bahwa pasukan Yunani itu miskin (ἀχρηματία, achrēmatia). Karena kekurangan logistik, mereka harus menyebar untuk bertani dan merampok selama pengepungan, sehingga daya tempur pasukan tidak berkelanjutan. Seandainya mereka tiba dengan perbekalan lebih dan tetap terkonsentrasi, Troya dapat ditaklukkan lebih cepat (Thuk. 1.11-1.12).

Setelah melakukan kritik sumber internal (poin pertama dan ketiga) dan kritik sumber eksternal (poin kedua dan keempat), Thukidides berkesimpulan bahwa Perang Troya memang besar dibanding ekspedisi sebelumnya yang pernah dilakukan Yunani, tetapi jauh lebih kecil daripada yang digambarkan Homeros.

Kritik Sumber sebagai “Milik untuk Selamanya”

Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa Thukidides tidak hanya merumuskan prinsip-prinsip kritik sumber, tetapi juga secara konsisten mempraktikkannya dalam karya besarnya. Tradisi kritik sumber dalam historiografi Barat sudah berakar sejak abad ke-5 SM, jauh sebelum dibakukan sebagai metode penelitian sejarah oleh sejarawan modern pada abad ke-18 dan ke-19, serta mendahului pula Prapanca dengan Kakawin Nagarakretagama pada abad ke-14 dalam historiografi Jawa.

Patung dada Thukidides. Salinan plester dari salinan Romawi (sekitar 100 M) atas asli Yunani abad ke-4 SM. Koleksi Pushkin Museum (Moskow), kini dalam pameran galeri Zurab Tsereteli. Foto: user:shakko, 2008. Sumber: Wikimedia Commons.