Prokroustes versi Rocky Gerung: Retorika tanpa Landasan Klasik

Ketika kisah Prokroustes dipelintir oleh Rocky demi kebutuhan retorikanya.

KAJIAN MODERNANALISIS/KAJIAN AKADEMISMITOLOGI & SASTRA

Muhammad Farhan Ghibran

9/26/20253 min read

Theseus melawan Prokroustes. Detail dari kylix Attika berfigur merah, 440–430 SM. Sumber: Wikimedia
Theseus melawan Prokroustes. Detail dari kylix Attika berfigur merah, 440–430 SM. Sumber: Wikimedia

Nama Rocky Gerung sudah lama identik dengan kritik yang tajam. Dari Indonesian Lawyers Club (ILC) hingga ruang-ruang seminar, analisisnya soal politik nasional sering terbukti. Dia pernah menyebut Anies Baswedan akan diusung NasDem (2019) dan benar terjadi. Dia memprediksi pergeseran Airlangga Hartarto (2024), yang juga tepat. Bahkan baru-baru ini dia menubuatkan reshuffle kabinet Prabowo (2025), yang segera terkonfirmasi. Singkatnya, dalam dunia politik, Rocky jarang meleset. Namun, lain ceritanya ketika dia menyinggung mitologi Yunani. Sejak 2017, satu nama kerap muncul dalam orasi-orasinya: Prokroustes.

Prokroustes Versi RG (2017-2023)

Dalam forum ILC bertajuk Hoax vs Kebebasan Berpendapat (2017), Rocky menutup pidatonya dengan kisah seorang raja yang dianggap bijaksana. Setiap malam, sang raja mengundang rakyat tidur di ranjang emasnya. Jika tubuh mereka lebih panjang, kakinya digergaji; jika lebih pendek, ditarik agar pas. Kisah itu dia ulang pada 2019, dalam sidang kasus Munarman (2022), hingga berbagai seminar sepanjang 2023. Narasinya konsisten: ada raja lalim, ada ranjang emas, ada gergaji, dan ada tarikan kaki. Bahkan dalam versi belakangan, Rocky menambahkan label “raja Sparta” dan hiperbola “putus dengkulnya” Sebagai metafora politik, kisah ini bekerja. Publik langsung menangkap pesannya: ranjang emas sebagai standar tunggal, gergaji sebagai kekerasan negara, dan tarikan kaki sebagai paksaan terhadap rakyat. Namun, bila kita membuka teks klasik, ceritanya sangat berbeda.

Prokroustes dalam Sumber Klasik

Dalam mitologi Yunani, Prokroustes (kadang disebut juga Damastes, Polypemon, atau Prokoptes) sama sekali bukan raja Sparta, bahkan bukan raja. Dia hanyalah seorang penjahat yang menghadang orang di jalanan Attika. Kisahnya muncul sebagai bagian dari perjalanan Theseus menuju Athena, ketika sang pahlawan muda menumpas satu per satu penjahat yang meresahkan: Periphetes, Sinis, Babi Hutan Krommyon, Skiron, Kerkyon, hingga akhirnya Prokroustes. Rangkaian penaklukan ini bukan sekadar aksi heroik, melainkan simbol “pembersihan jalan” sebelum Theseus diakui sebagai pahlawan kota (Bacchyl. Dith. 18.17-30; Apollod. Bibl. 3.16.1–2, Epit. 1.2–1.4; Diod. 4.59; Plut. Thes. 8–1224–25).

Para penulis klasik menggambarkan kekejaman Prokroustes dengan cara yang beragam, seakan setiap sumber menambahkan detail baru pada ranjang mautnya. Bakkhylides, misalnya, hanya menyebut palu dan nama Prokroustes di antara para penjahat jalanan yang ditumpas Theseus, tanpa melukiskan lebih jauh bagaimana dia menyiksa korbannya (Dith. 18.27-28). Gambaran lebih jelas datang dari Diodoros, yang menulis bahwa Prokroustes memaksa pengembara untuk menyesuaikan tubuh dengan ranjangnya: bila terlalu panjang, dipotong; bila terlalu pendek, diregangkan (4.59.5).

Apollodoros lalu memperkaya kisah itu. Menurutnya, Prokroustes memiliki dua ranjang (satu panjang, satu pendek) dan setiap korban dipaksa tidur di ranjang yang salah. Mereka yang tubuhnya lebih pendek dipukul dengan palu (σφύραις, sphyrais), sementara yang lebih panjang kakinya digergaji (ἀποπρίζω, apoprizō) (Epit. 1.4). Hyginus, dalam versinya, menambahkan nuansa yang lebih mengerikan: korban yang pendek diletakkan di atas landasan besi (incudibus) lalu diregangkan (extendere), sedangkan yang panjang dipotong (praecidere) (Fab. 38).

Plutarkhos memilih untuk menulis singkat saja, bahwa Prokroustes memaksa setiap orang menyesuaikan diri dengan ukuran ranjangnya (Thes. 11). Pausanias bahkan lebih ringkas: dia tidak memberi rincian alat atau metode, hanya menegaskan bahwa Prokroustes hanyalah seorang penyamun (λῃστής, lēistēs) yang akhirnya dibunuh Theseus (1.38.5). Sementara Ovidius, dalam Metamorphoses, hanya menyebut namanya di antara daftar penjahat yang dilenyapkan Theseus (7.433–441).

Keliru secara Filologis, Efektif secara Retoris

Kalau kita bandingkan dengan teks klasik, perbedaan versi Rocky segera tampak. Pertama menyangkut status Prokroustes. Bagi para penulis kuno, dia hanyalah penjahat jalanan di Attika yang ditumpas Theseus. Bakkhylides, Plutarkhos, Apollodoros, hingga Pausanias sepakat soal itu, dan hanya Pausanias yang menegaskannya secara eksplisit dengan kata lēistēs, penyamun. Tidak ada satu pun yang menyebutnya raja, apalagi raja Sparta.

Perbedaan kedua ada pada alat penyiksaannya. Sumber-sumber klasik konsisten menyebut ranjang sebagai senjata utama, dengan satu variasi kecil di Hyginus yang menambahkan detail peregangan di atas landasan besi. Tetapi tidak ada teks yang mengenal “ranjang emas” detail yang justru berulang kali dipakai Rocky.

Terakhir, soal metode. Diodoros menulis bahwa korban yang terlalu panjang dipotong dan yang terlalu pendek diregangkan. Apollodoros menambahkan detail lebih sadis: pemukulan dengan palu dan penggergajian kaki. Hyginus menekankan pemotongan dan peregangan di atas besi. Plutarkhos sekadar menyinggung pemaksaan sesuai ranjang, sementara Pausanias dan Ovidius sama sekali tidak menyebut cara penyiksaan. Jadi tidak ada tradisi yang menyebut korban “ditarik kakinya sampai putus” gambaran hiperbolik yang belakangan muncul dalam versi Rocky.

Dengan kata lain, Prokroustes versi Rocky hampir tak punya pijakan dalam mitologi Yunani. Ia lebih tepat disebut ciptaan baru yang lahir dari kebutuhan retoris, bukan warisan teks klasik.

Mitos Perlu Sumber, Bukan Sekadar Retorika

Rocky Gerung boleh saja keliru membaca Prokroustes, namun bukan berarti kisah ini bisa diolah sekehendak hati tanpa merujuk pada sumbernya. Mitologi Yunani dibangun di atas teks-teks klasik, dari Apollodoros hingga Plutarkhos, yang masih bisa kita baca hari ini. Justru di situlah kekuatan studi klasik: setiap klaim dapat diverifikasi, setiap cerita punya asal-usul yang jelas.

Karena itu, bila mitos hendak dipakai sebagai metafora politik, sebaiknya digunakan secara sadar. Mitos bisa tajam, bisa memikat, tetapi tetap perlu berpijak pada sumbernya. Jika tidak, yang tersisa bukanlah warisan Yunani, melainkan dongeng baru yang hanya mencerminkan kebutuhan retorika sesaat.

Theseus melawan Prokroustes. Detail dari kylix Attika berfigur merah, ca. 440–430 SM. Koleksi British Museum (GR 1850.3-2.3, Cat. Vases E84). Foto: Marie-Lan Nguyen, 2007. Sumber: Wikimedia Commons.