Mengapa Relativisme Budaya Argumen yang Buruk: Sokrates dan Kritiknya terhadap Relativisme Protagoras
Sokrates membongkar relativisme Protagoras yang tampak bijak tapi rapuh secara logika. Sebuah refleksi bagi zaman ketika relativisme budaya kerap menjadi tameng bagi keburukan atas nama tradisi.
ANALISIS/KAJIAN AKADEMISKAJIAN MODERNFILSAFAT


Zaman ini mencintai kalimat-kalimat lembut terhadap kebenaran. Kita diajarkan untuk tidak menilai, hanya memahami; untuk melihat bahwa setiap kebiasaan punya logikanya sendiri, dan karena itu tak ada yang sungguh salah. Pandangan seperti ini tampak bijak, tetapi diam-diam membunuh akal. Sebab, jika segalanya benar, maka tak ada lagi alasan untuk berpikir.
Setiap kali ada yang mengajukan kritik moral terhadap suatu tradisi, segera muncul jawaban yang menenteramkan “Setiap komunitas punya caranya sendiri, jangan menilai dengan ukuran luar!” atau “Jangan menilai, pahami saja!” Dua kalimat itu terdengar penuh kearifan, tetapi menyisakan paradoks: jika semua benar, mengapa kita masih berbicara tentang kebenaran? Bila setiap tradisi memiliki kebenarannya sendiri, maka tak ada lagi kebenaran yang dapat dipertukarkan melalui dialog.
Relativisme seperti ini sering menjadi tameng bagi tradisi yang buruk, yaitu untuk menyelubungi kekerasan simbolik, ketimpangan sosial, bahkan kezaliman moral atas nama “budaya” Namun apa yang hari ini kita sebut “relativisme budaya” bukanlah hal yang baru. Ribuan tahun lalu, seorang sofis dari Abdera bernama Protagoras telah merumuskannya dalam kalimat masyhur “Manusia adalah ukuran segala sesuatu” (πάντων χρημάτων μέτρον ἐστὶν ἄνθρωπος, Sext. Emp. Adv. Mat. 7.60 bdk. Plat. Theaet. 152a; Pyrrh. Hyp. 1.216; Diog. Laert. 9.51; Arist. Met. Γ 5, 1009a6–15, 1011a-b; Diels-Kranz 80 B 1).
Pernyataan ini menggoda, karena kebenaran seakan dipulangkan sepenuhnya pada pengalaman, kebiasaan, dan cara hidup masing-masing orang atau kelompok. Namun Sokrates membaca bahwa dibalik pesona argumen itu, tersembunyi bahaya besar bagi akal dan kehidupan bersama. Dia menentang pandangan itu dalam Theaitetos, dengan menelusuri logikanya langkah demi langkah hingga tampak bahwa relativisme, terutama relativisme budaya masa kini, adalah argumen yang buruk.
Ketika Semua Benar, Tak Ada yang Benar (Theaitetos 168c-171c)
Argumen pertama Sokrates terhadap Protagoras adalah kontradiksi dari relativisme itu sendiri. Sokrates menguji ini lewat logika sederhana. Jika Protagoras menyatakan bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu”, maka pandangan siapa pun (termasuk orang yang menolak pandangan Protagoras) harus dianggap benar juga. Akibatnya, relativisme menghancurkan dirinya sendiri, karena dia juga harus mengakui kebenaran orang yang menolak relativisme.
Sokrates mencontohkan bahwa dalam kehidupan nyata, orang tidak pernah bertindak seolah semua pendapat setara. Dalam peperangan, orang mencari komandan yang lebih tahu; dalam pelayaran, nahkoda; dalam penyakit, dokter. Bila semua pendapat benar, tak perlu ada pemimpin atau guru, karena tak seorang pun lebih tahu dari yang lain. Maka, masyarakat sendiri secara diam-diam menolak relativisme, karena mereka hidup seolah ada ukuran yang lebih benar.
Tak Semua Nilai Sama (Theaitetos 171d-172c)
Setelah menyatakan relativisme bertentangan dengan dirinya sendiri, Sokrates melangkah lebih jauh. Dia menolak pandangan bahwa semua persepsi dan nilai memiliki bobot yang sama. Dia menunjukkan dalam kehidupan manusia, memang ada perbedaan kadar kebijaksanaan.
Seorang dokter lebih tahu tentang kesehatan daripada orang biasa; penasihat politik lebih tahu tentang urusan negara daripada warga yang tak berpengalaman; petani lebih tahu tentang musim dan tanah daripada pemain musik. Dari sini jelas, bahwa tak semua pendapat memiliki nilai yang sama. Ada yang lebih tepat karena didasarkan pada λόγος (logos), atau pengetahuan dan alasan. Tanpa pengakuan akan perbedaan nilai dan tingkat kebijaksanaan ini, tak akan ada kemajuan dalam ilmu, politik, maupun moral. Satu yang tersisa hanyalah kebiasaan yang dipuja tanpa penilaian.
Pengetahuan Bukan Persepsi (Theaitetos 172c-179c)
Setelah menggugat nilai, Sokrates menyerang akar dari relativisme Protagoras yakni penyamaan pengetahuan dengan persepsi. Persepsi selalu berubah, misalnya apa yang terasa panas bagi satu orang bisa terasa dingin bagi yang lain. Bila pengetahuan bergantung pada persepsi, maka kebenaran pun berubah setiap saat.
Sokrates menunjukkan keanehan ajaran Protagoras ini dengan contoh sederhana. Bila “melihat” berarti “tahu”, maka ketika kita memejamkan mata, kita seketika menjadi bodoh. Padahal, kita tetap bisa mengingat apa yang telah dilihat sebelumnya, Maka, pengetahuan tidak ada dapat disamakan dengan persepsi. Pengetahuan sejati menuntut sesuatu yang tetap yakni penalaran yang mampu menembus perubahan.
Ketika Bahasa Kehilangan Makna (Theaitetos 179c-183c)
Akhirnya Sokrates menunjukkan akibat paling fatal dari relativisme yakni kehancuran bahasa itu sendiri. Jika segala sesuatu berubah dan hanya benar bagi masing-masing orang, maka kata “putih” atau “adil” tidak menunjuk pada apa pun. Bahasa kehilangan maknanya, sebab tak ada lagi kesepakatan tentang apa yang dimaksud oleh kata-kata itu. Sokrates menutup argumennya dengan peringatan yang lembut tapi tajam, bahwa bila kita menolak adanya ukuran bersama, maka bahkan percakapan pun menjadi mustahil. Setiap orang akan berbicara dalam dunianya sendiri dan kebenaran, yang lahir dari dialog, akan mati bersama bahasa.
Mengembalikan Akal sebagai Ukuran Kebenaran
Dari seluruh perdebatan dalam Theaitetos, Sokrates menyingkap satu hal mendasar, bahwa ketika manusia menjadikan dirinya ukuran segala sesuatu, sesungguhnya dia kehilangan ukuran sama sekali. Kebenaran yang harusnya berakar pada akal, justru pada kebiasaan. Tidak lagi diuji oleh argumen, tetapi oleh perasaan dan kekuasaan. Relativisme semacam ini, yang hari ini sering berwajah lembut dalam nama “toleransi budaya”, pada akhirnya justru meniadakan ruang bagi kebenaran.
Bila semua pandangan sama benarnya, maka tidak ada yang sungguh perlu diuji. Bila semua nilai sama baik, maka keadilan hanyalah selera. Bila pengetahuan hanyalah persepsi, maka akal tidak lebih dari cermin kabur bagi nafsu. Bila setiap kata hanya bermakna bagi penuturnya, maka bahasa kehilangan kekuatan untuk mengikat manusia dalam dialog. Di titik ini, filsafat berhenti dan bersama itu, kebenaran pun mati.
Sokrates mengingatkan kita bahwa ukuran kebenaran bukanlah suara mayoritas, bukan pula kesepakatan sosial, melainkan logos, atau akal yang menimbang, menolak, dan mencari yang tetap di balik segala yang berubah. Mengembalikan akal sebagai ukuran berarti mengembalikan martabat manusia, bahwa berpikir adalah bentuk tertinggi dari keberanian moral.
Sebab, kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk membenarkan apa pun, melainkan kebebasan untuk mencari yang benar. Inilah nilai abadi dari pelajaran Sokrates, bahwa kebenaran bukan warisan, tetapi pencarian; bukan kebiasaan, tetapi perjuangan untuk hidup dengan akal yang jernih di tengah kebingungan dunia.
Patung dada Sokrates. Salinan Romawi dari karya Yunani asli abad ke-4 SM, terbuat dari marmer. Koleksi Museum Vatikan, Museo Pio-Clementino, Muses Hall (Inventarisasi Inv. 314). Foto: Jastrow (2006). Sumber: Wikimedia Commons.