Bukan Hanya Indonesia, Persia pun Pernah Berdebat soal Konstitusi (Menurut Herodotos)
Herodotos mencatat bahwa Persia pernah berdebat soal konstitusi yang hendak mereka anut setelah jatuhnya Gaumata. Sebuah kisah yang memberi cermin bagi pengalaman Indonesia tahun 1945.
HUKUM & POLITIKSEJARAHANALISIS/KAJIAN AKADEMIS


Pada paruh akhir Perang Dunia II, Kekaisaran Jepang memasuki krisis politik. Untuk mempertahankan dukungan di Hindia Belanda, Perdana Menteri Koiso pada 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan “di kemudian hari” Pada 1 Maret 1945, dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) sebagai forum untuk membahas dasar dan bentuk negara Indonesia.
Dalam konteks itulah, pada 10 Juli 1945 BPUPK menggelar sidang khusus tentang bentuk negara. Perdebatan mengerucut pada republik versus monarki (dengan beberapa usulan alternatif), lalu diputus lewat pemungutan suara. Terdapat 55 suara yang memilih republik, 6 kerajaan, 2 lain-lain, dan 1 blanko.
Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah dan terjadi kekosongan kekuasaan: administrasi militer Jepang lumpuh menunggu Sekutu, sementara Belanda belum kembali. Momentum ini segera dimanfaatkan oleh pemimpin Indonesia untuk menyatakan Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Sehari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 dan menegakkan Republik Indonesia sebagai bentuk negara.
Pola krisis politik yang memaksa elite menentukan bentuk negara ini bukan hanya khas Indonesia. Herodotos mencatat bahwa lebih dari dua ribu tahun sebelumnya, Persia pun mengalami perdebatan serupa setelah runtuhnya kekuasaan Kambisus II.
Awal Krisis Takhta Persia: Dari Mimpi Kambisus II ke Kudeta Magi
Setelah Koresh Agung wafat, takhta Persia diwarisi oleh putranya, Kambisus II. Dalam perjalanannya menaklukkan Mesir, Kambisus dihantui mimpi buruk. Saudaranya, Smerdis (Bardiya), tampak duduk di takhta dengan kepalanya menyentuh langit. Takut ramalan itu menjadi kenyataan, Kambisus diam-diam membunuh saudaranya sendiri dengan mengutus orang kepercayaannya, Prexaspes. Namun, kematian itu tidak pernah diumumkan, sehingga rakyat Persia tetap percaya bahwa Smerdis masih hidup.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Patizeithes, seorang Magus yang ditunjuk Kambisus sebagai pengawas istana dan mengetahui rahasia kematian Smerdis. Dia menobatkan saudaranya sendiri, Gaumata, yang sangat mirip dengan Smerdis. Patizeithes menempatkan Gaumata di istana, lalu mengirim utusan ke seluruh wilayah untuk mengumumkan bahwa “Smerdis, putra Koresh” kini menjadi raja Persia.
Kabar itu cepat menyebar, termasuk ke pasukan Kambisus yang saat itu masih di Suriah. Kambisus sendiri sempat terkecoh bahwa yang duduk di takhta adalah adiknya, bukan penyamar. Dia merasa dikhianati oleh Prexaspes yang ditugaskan membunuh Smerdis. Baru setelah sang utusan diinterogasi, kebenaran terungkap, bahwa yang duduk di takhta bukan Smerdis, melainkan seorang Magus penyamar.
Di sinilah tragedi menimpa Kambisus. Dalam perjalanan pulang untuk merebut kembali takhta, dia mengalami kecelakaan, bahwa pedangnya sendiri menusuk pahanya di kota Ekbatana (Suriah). Luka itu fatal dan menjelang kematiannya, dia berpesan agar bangsawan Persia merebut kembali kerajaan dari tangan kaum Magi. Dengan kematiannya pada 522 SM, takhta Persia jatuh sepenuhnya ke tangan sang penyamar (Hdt. 3.61-3.67; bandingkan DB I.27–35; I.36-43; Ktesias FGrHist 688 F 13 §9–15).
Puncak Krisis: Pemerintahan Gaumata dan Konspirasi Tujuh Bangsawan
Gaumata, sang Magus yang menyamar sebagai Smerdis, berkuasa hanya sebentar (tujuh bulan atau sekitar setahun) namun populer. Dia menghapus pajak dan kerja paksa selama tiga tahun. Kebijakan ini membuat banyak provinsi, dari Media hingga Baktria, menerima kepemimpinannya. Namun kaum bangsawan curiga. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, Gaumata jarang tampil di muka umum, tidak pernah mengundang bangsawan ke istananya, bahkan menutup akses sesama permaisuri.
Kecurigaan ini mendorong Otanes, seorang bangsawan Persia, menyuruh putrinya Phaedyme (salah satu istri raja) untuk memeriksa telinga sang raja ketika tidur. Gaumata diketahui tidak memiliki telinga, karena telinganya pernah dipotong oleh Koresh sebagai hukuman di masa lalu. Ketika diperiksa oleh Phaedyme, raja yang tidur di sampingnya sungguh bukan Smerdis.
Dengan bukti ini, maka terbentuk sebuah konspirasi. Tujuh bangsawan Persia (Otanes, Gobryas, Megabyzus, Hydarnes, Intaphrenes, Aspathines, dan Darius putra Hystaspes) bersatu untuk menggulingkan Gaumata. Namun pada saat yang sama, para Magus berusaha memperkuat kekuasaannya dengan memanfaatkan Prexaspes, orang yang dahulu ditugaskan Kambises untuk membunuh Smerdis.
Karena dia sangat termashyur di antara orang Persia, mereka memintanya berdiri di atas menara dan menyatakan kepada rakyat bahwa raja yang sekarang berkuasa sungguh benar-benar Smerdis putra Koresh. Namun, alih-alih mengikuti perintah, Praxaspes justru mengungkap kebenaran, bahwa dia sendiri telah membunuh Smerdis atas perintah Kambises dan takhta kini dikuasai penyamar. Setelah itu, dia melemparkan dirinya dari menara dan meninggal.
Tindakannya ini membuat rakyat Persia terguncang. Ketujuh bangsawan sempat berdebat soal waktu penyerangan karena peristiwa ini, hingga akhirnya sepakat untuk menyerbu istana—setelah mereka melihat pertanda tujuh burung elang yang membunuh dua pasang burung nasar. Dengan itu mereka memasuki istana, membunuh para penjaga, dan berhasil menewaskan Gaumata dan saudaranya (Hdt. 3.67-3.79; bandingkan I.44-52; I.53-61; I.62-71; IV.1–11; IV. 77-8; Ktesias FGrHist 688 F 13 §16).
Resolusi Krisis: Pilihan Konstitusi untuk Persia
Setelah Gaumata disingkirkan, tujuh bangsawan Persia mengadakan dewan untuk menentukan bentuk pemerintahan. Di sini Herodotos menampilkan perdebatan konstitusional yang dramatis, seolah-olah Persia berdiri di persimpangan antara tiga jalan besar politik: demokrasi, oligarki, atau monarki.
Otanes berbicara pertama. Dia menolak monarki dengan keras, karena kekuasaan satu orang tak terhindar dari kesombongan (ὕβρις, hubris) dan kesewenang-wenangan. Kambises yang mabuk kuasa dan para Magus penipu rakyat adalah bukti nyata bahwa kekuasaan tanpa kendali melahirkan ketidakadilan. Masalahnya, kata Otanes, bukan hanya siapa penguasanya, melainkan sifat manusia itu sendiri.
Setiap orang menyimpan benih iri hati (φθόνος, phthonos) dan rakus kuasa (κόρος, koros). Jika keduanya menyatu dalam diri raja tunggal, maka lahirlah penguasa yang iri pada warganya yang terbaik, mengangkat yang terburuk, mudah termakan fitnah, melanggar adat leluhur, memperkosa perempuan, dan membunuh tanpa pertimbangan.
Sebagai gantinya, Otanes memuji pemerintahan rakyat yang dia sebut ἰσονομία (isonomia) atau kesetaraan di hadapan hukum. Sistem ini indah dalam nama dan adil dalam praktik: jabatan diundi (κληρωτός, klērōtos), pejabat dimintai pertanggungjawaban (εὔθυνος, euthynos), dan musyawarah digelar terbuka (τὸ κοινὸν βουλεύειν, to koinon bouleuein). Dengan begitu, tak seorang pun bisa bertindak sekehendaknya, karena kekuasaan tersebar di antara banyak orang.
Namun Megabyzus menolak demokrasi dengan keras. Dia sepakat dengan Otanes bahwa pemerintahan satu orang berbahaya, tetapi dia menilai menyerahkan kekuasaan kepada rakyat justru lebih buruk. “Tidak ada yang lebih bodoh dan garang daripada kerumunan yang tak terkendali”, katanya.
Seorang raja tunggal, menurut Megabyzus, betapapun buruknya, masih bertindak dengan suatu pengetahuan. Namun rakyat mustahil memiliki pengetahuan. Bagaimana bisa mereka tahu yang terbaik, bila mereka tidak pernah belajar atau melihat sendiri? Mereka hanya bertindak membabi buta, “seperti sungai yang meluap.” Karena itu, demokrasi hanyalah resep bagi bencana.
Sebaliknya, dia menawarkan jalan tengah yakni oligarki (ὀλιγαρχία, oligarkhia). Kekuasaan sebaiknya diserahkan kepada segelintir orang terbaik, karena di antara mereka keputusan yang bijak lebih mungkin lahir. Tambahnya dengan jujur “kita sendiri akan termasuk di antara mereka.” Dengan begitu, Persia akan dipimpin sekelompok orang yang cakap, bukan oleh satu orang yang sewenang-wenang dan bukan pula oleh kerumunan orang tak terdidik.
Giliran Darius tiba, dia membalikkan argumen keduanya. Menurutnya baik isonomia maupun oligarkhia penuh kelemahan, sementara bentuk terbaik justru monarki (μοναρχία, monarkhia). Seorang raja bijaksana dapat mengarahkan negara dengan keputusan yang tepat sekaligus menjaga rahasia dan strategi militer tanpa terpecah oleh perdebatan banyak orang.
Sebaliknya oligarkhia mudah jatuh ke dalam iri hati antarelite. Karena masing-masing ingin unggul, lahirlah permusuhan, dari permusuhan timbul faksi, dari faksi lahir kekerasan, dan akhirnya keadaan kembali ke monarki. Isonomia, pun tak lebih baik. Karena rakyat yang banyak justru sering bersekongkol dalam kejahatan, sehingga negara rusak oleh persekutuan orang-orang jahat. Pada akhirnya akan muncul satu tokoh yang dianggap penyelamat, lalu diangkat sebagai raja. Ini membuktikan bahwa monarki memang paling terbaik.
Darius menutup argumennya dengan sebuah retorika. Kebebasan Persia, ujarnya, bukan hadiah rakyat maupun oligarki, melainkan dari satu orang yakni Koresh Agung. Maka sudah sepatutnya Persia tetap menjaga monarki dan tidak mengubah adat leluhur (νόμοι πατρίοι, nomoi patrioi) yang sudah terbukti membawa kejayaan (Hdt. 3.80-3.82).
Epilog: Penobatan Darius dan lahirnya Monarki Baru
Setelah perdebatan, empat dari tujuh bangsawan menerima argumen Darius bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan terbaik bagi Persia. Hanya Otanes yang menolak, dengan syarat dirinya dan keturunannya tidak pernah tunduk pada seorang raja. Dengan demikian, Persia kembali pada monarki, meski kali ini diteguhkan melalui musyawarah para bangsawan.
Karena ada yang harus menjadi raja, mereka lalu sepakat memilih cara simbolis: siapa kuda bangsawan yang lebih dulu meringkik saat matahari terbit, dialah yang menjadi raja. Darius mengakali aturan itu. Pelayanannya, Oibares, membuka kudanya ke tempat yang sama sehari sebelumnya untuk kawin, sehingga ketika fajar tiba, kuda Darius langsung meringkik mengingat tempat itu. Herodotos menambahkan momen dramatis, bahwa kilat menyambar waktu langit cerah, seolah dewa merestui pilihan itu.
Dengan cara itu, Darius naik takhta pada 522 SM (Hdt. 8.84-8.88; bandingkan Ktesias FGrHist 688 F 13 §17). Sejak itu, monarki Akhemeniyah memasuki babak baru. Krisis takhta berakhir dengan lahirnya raja baru, Darius, yang kelak dicatat sejarah sebagai Darius Agung.
Relief Behistun bergambar Darius menginjak rivalnya, Gaumata. Ukiran batu, abad ke-6 SM, terletak di Behistun, Iran. Foto: Patrick C., Wikimedia Commons.